Agen properti adalah sebutan bagi orang yang bekerja memasarkan properti baik itu unit rumah, gedung, kantor dan bangunan lainnya atau kavling tanah. Bagi Anda yang belum mengetahui, secara garis besar agen properti bisa dibagi menjadi 2 jenis. Yaitu agen properti freelance dan agen properti in-house. Disini kami tidak akan membahas lebih rinci apa perbedaan agen freelance dan in-house. Silahkan bisa googling dan cari artikel lain untuk mendapatkan penjelasan lebih detail. Yang menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini adalah sesuai judul,
apakah benar agen properti freelance itu awalnya dibutuhkan kemudian ditinggalkan?
Oleh siapa?
Apa ini maksudnya?
Sabar, mari baca tulisan ini pelan – pelan. Perlu digarisbawahi, disini kami tidak bermaksud mendiskreditkan suatu pihak manapun. Kami hanya ingin menyampaikan opini dengan dasarnya fenomena yang terjadi di lapangan. Dalam tulisan ini, kami memang tidak bisa menyajikan data kuantitatif yang bisa mendukung opini kami, tetapi kami bisa memaparkan dengan fenomena yang terjadi dilapangan. Khususnya dalam dunia properti syariah di Bandung. Karena kami memang berkecimpung dalam dunia properti syariah di wilayah Bandung Raya.
Fenomena yang terjadi
Jika Anda masih ingat, fenomena awal booming properti syariah di Bandung itu terjadi sekitar tahun 2017. Pada saat itu terdapat beberapa developer properti syariah yang mulai membuka project-nya di Bandung. Bagi masyarakat Bandung, properti dengan konsep syariah ini adalah seperti “komoditas” baru yang ditunggu – tunggu karena menawarkan konsep kepemilikan yang bebas dari Riba dan akad bathil lainnya yang menimbulkan dosa, yang dimana hal ini tidak bisa diberikan oleh properti konvensional.
Seperti jamur dimusim hujan, tahun 2017 – 2018 mulai bermunculan developer – developer properti syariah juga agen – agen properti syariah. Baik itu developer dan agen yang asalnya konvensional kemudian hijrah ke syariah, atau developer dan agen yang memang “baru lahir” langsung bergeraknya di properti syariah.
Dengan konsep syariah yang notabene menghindari permodalan perbankan, para developer properti syariah saat itu rata – rata menggunakan modal pribadi ataupun investor yang tentu diberlakukan juga konsep kerjasama sesuai syariah. Karena modal yang (biasanya) minim, para developer itu lebih memprioritaskan penggunaan modalnya terhadap akuisisi lahan dan mengerjakan proses perizinan, untuk marketing? nomor sekian lah. Padahal dalam bisnis apapun, unsur marketing adalah hal yang tidak bisa dilupakan, apalagi ketika awal memulai sebuah bisnis / project.Tidak kehabisan akal, para developer properti syariah ini merangkul para agen freelance untuk memasarkan project-nya. Baik itu agen freelance yang perseorangan atau yang berkelompok, atau biasa disebut agency marketing.
Berapa biaya yang dikeluarkan oleh developer dalam hal menciptakan “pasukan marketing” freelance ini? Kami tidak tau tepatnya, tapi biasanya yang dilakukan oleh para developer adalah membuat undangan gathering agen properti di hotel – hotel. Silahkan nilai sendiri, tapi secara logika tentu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya akuisisi lahan dan proses perizinan.
Oiya satu lagi, di fase awal project ini biasanya para developer belum meng-hire marketing in-house atau karyawan khusus di bidang marketing. Selain untuk menghemat modal karena belum ada revenue dari penjualan unit, belum banyak transaksi penjualan juga menjadi alasan biasanya. Karena kalau ada marketing in-house yang digaji bulanan oleh developer, akan lumayan “menyedot” modal.
Lalu, boom!
Developer mendapatkan exposure tentang project-nya dari para agen freelance secara GRATIS. Karena para agen freelance ini berlomba untuk menjualkan unit – unit rumahnya, para agen freelance menggunakan berbagai channel pemasaran seperti website, sosial media ataupun marketplace. Dan para agen freelance ini akan menuai hasilnya jika berhasil menjual unit rumah dari developer berupa fee / komisi. Nilai fee / komisi itu memang besar dan cukup untuk menutup biaya si agen dalam proses pemasarannya, misal biaya memasang iklan, biaya transportasi, dsb.
Developer senang karena unitnya terjual
Agen senang karena mendapatkan fee dari hasil jerih payahnya
Fair enough…
Kondisi sekarang
Sekarang awal 2021 (ketika tulisan ini dibuat), sekitar 4 tahun dari para developer properti syariah memulai project pertamanya. Hingga hari ketika tulisan ini dibuat, para developer sudah banyak yang menyelesaikan project-nya, bahkan sudah banyak yang membuka beberapa project perumahan lanjutannya baik itu di Bandung ataupun kota lainnya.
Karyawan semakin lengkap posisinya, kantor semakin megah, dan sepertinya modal sudah terkumpul semakin banyak untuk melunasi lahan dan proses perizinan. Bidang marketing, yang pada awalnya seperti “dianak-tirikan” sekarang mulai mendapatkan perhatian. Sedikit demi sedikit developer mulai meng-hire agen marketing in-house, dan budget untuk advertising mulai ada atau mulai ditingkatkan. Hal itu dilakukan demi mendongkrak penjualan, karena kalau hanya mengandalkan agen freelance, developer tidak bisa “nge-push” kinerjanya, karena statusnya yang “freelance” itu. Penjualan harus didongkrak, karena biaya waktu buka project awal yang karyawannya sedikit, tentu berbeda jauh dengan sekarang yang biayanya tinggi karena karyawan banyak.
Ya pada akhirnya, agen – agen freelance yang kurang mampu untuk beradaptasi dengan kondisi, akan sedikit demi sedikit “tumbang”, karena penjualan akan lebih banyak didapatkan oleh agen in-house yang mendapat berbagai “previlage” dari developer.
Kami perhatikan, siklusnya selalu sama
Awal project dibuka, biasanya agen freelance menjadi “kesayangan” developer, karena developer ingin menghemat budget marketing dan mendapat exposure besar dengan budget minim. Developer lebih mengutamakan modalnya untuk akuisisi lahan dan perizinan.Setelah penjualan mulai banyak dan cash flow kuat, sedikit demi sedikit developer membangun tim marketing in-house dan secara sadar atau tidak disadari (oleh developer) hal ini menyebabkan agen freelance tersingkir secara pelan. Dapat difahami, karena developer pun perlu mendongkrak penjualan untuk menjaga cash flow.
Tidak perlu ada yang disalahkan, tapi ini kondisi yang memang terjadi saat ini, tinggal bagaimana setiap stakeholder beradaptasi. Agen freelance yang tidak mau berinovasi, tidak mau belajar dan tidak mau berkembang pastinya akan tumbang dan ditinggalkan. Disisi lain, developer yang mampu menjaga hubungan kerja yang baik dengan agen freelance, tentu akan mendapatkan posisi istimewa dihati para agen freelance itu. Yang dampaknya secara sukarela para agen freelance itu akan dengan senang hati memasarkan dan membuat exposure nama baik dari developer tersebut terus menyebar dengan harum.